Gerakan Islam transnasional di
Indonesia kian berkibar, setidaknya
terlihat dari beberapa aktifitas di
kampus-kampus Islam maupun
Kampus non Islam, bahkan mereka
sangat militan dalam mendakwahkan ideologinya sehingga dengan mudah
kita dapat melihat aktifitasnya. Ini
adalah salah satu aktifitas dari
gerakan Islam Transnasional dari
sekian banyak agenda agenda yang
mereka lakukan untuk melakukan penghancuran budaya (culture
genocide) Indonesia yang mereka
anggap sama sekali tidak Islami.
Gerakan tarbiyah dan HTI adalah salah
satu gerakan Islam transnasional
yang sangat massif menyebarkan Ideologinya kesemua kampus di
negeri ini, hampir semua kampus
sudah disusupi kelompok ini,
pasarnya adalah kaum muda yang
ingin mengetahui Islam, para anak
muda ini hampir sama sekali tidak punya alasan atau kempuan teologis
untuk menolak ideologi mereka
karena tidak mempunyai
pengetahuan yang mendalam tentang
Islam.
Buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi gerakan Islam Transnasional di
Indonesia yang diterbitkan oleh The
Wahid Institute ini adalah upaya dari
beberapa Akademisi untuk
membedah Ekspansi gerakan Islam
transnasional yang kian hari makin bertambah banyak. Buku ini
membeberkan fakta ilmiah mengenai
relasi gerakan Islam transnasional di
indonesia dan faham Wahabi-
Ikhwanul Muslimin. Buku ini dapat di
unduh secara gratis melalui website http://www.bhinnekatunggalika.org/
galeri.html . Ihwanul Muslimin didirikan di mesir
pada tahun 1928 oleh Hasan Al
Bana.Tujuan Hasan Al-Bana
mendirikan Ikhwanul Muslimin
diantaranya adalah untuk melawan
penjajah, mengatasi kemunduran peradaban Islam, dan kembali kepada
ajaran Islam yang murni. Sayangnya,
Al-Bana dan para pengikutnya tamak
menyakini bahwa ideologi dan system
gerakan fasisme Itali-musolini dan
Komunisme-Uni Soviet lebih berguna dalam mencapai tujuanya daripada
liberalisme yang menjunjung tinggi
kebebasan bagi setiap orang untuk
mencari kebenaran dan
mengamalkan ajaran agamnya. Di
samping itu, Al-Bana juga berkenalan dengan gagasan Wahabi, dan sejak
awal sekali pola pikir totalitarianisme-
sentralistik fasisme, komunisme dan
wahabisme sudah ada dalah DNA
Ikhwanul Muslimin( hal 79)
Dalam membangun gerakan, Ikhwanul Muslimin menggunakan
jaringan Tarekat yang saat itu banyak
dan tumbuh di mesir. Bahkan bisa
dikatan bahwa Ikhawanul Muslimin
sendiri pada masa transformatifnya
adalah sebuah tarekat namun dengan tujuan politik, bukan spiritual
sebagaimana layaknya tarekat
tasawuf. Maka dalam waktu yang
relatif cepat, Ikhwanul Muslimin
berhasil merekrut ratusan ribu
anggota. Memang, salah satu motif awal Ikhwanul Muslimin adalah untuk
melawan penjajahan Inggris di Mesir
dan tidak keras terhadap muslim yang
lain. Namun, karena watak dasar
gerakan ini bersifat politis yang
dikemas dengan busana agama, gairah politk sudah melekat erat
dalam DNA gerakan ini. Motif politik
dan keinginan merebut kekuasaan
dengan semangat fasisme-
komunisme kini membuat Ikhwanul
Muslimin sering terlibat konflik dengan penguasa (hal 80)
Karena sering terlibat konflik dengan
penguasa yang menyebabkan
terbunuhnya Perdana Menteri Mesir
Mahmoud an Nukrashi pada
Desember 1948 dan menyebabkan pula Hasan Al –Bana terbunuh oleh pemerintahan Mesir. Terbunuhnya
Hasan Al-Bana tidak membuat
Ikhwanul Muslimin mati, tapi semakin
keras dan fanatik. Sayyid Qutb menjadi
Ideolog dan salah seorang pemimpin
Ikhwanul Muslimin setelah Al-Bana tewas dibunuh. Merasa penguasa itu
telah berbuat kejam dan aniaya
membuat Qutb dan pemimin lain
bersifat lebih agresif terhadap lawan
lawan politiknya.Qutb membuat
tulisan tulisan yang menghasut penguasa saat itu, sehingga dia di
eksekusi pada tahun 1966.
Pada tahun 1960an Arab Saudi
mengundang para tokoh Ikhwanul
Muslimin –termasuk diantaranya adalah adik kandung Sayyid Qutb,
yaitu Muhammad Qutb- unutk
menyelamatkan diri ke Arab Saudi.
Muhammad Qutb kemudian menjadi
dosen di King Abdul Aziz University,
Jedah, dan mengajar Osama bin Laden diantara murid lainya (hal 82)
Sikap Saudi ini merupakan refleksi
ketakutan penguasa Wahabi atas
gerakan Pan Arabisme Gamal abdul
Naseer yang mendasarkan sosialisme
dan jelas merupakan ancaman terhadap dominasi ideologis Wahabi-
Saudi. Dengan mengundang
Ikhwanul Muslimin, Saudi ingin sekali
kayuh dua hingga tiga pulau. Pertama,
Ikhwanul Muslimin yang merupakan
musuh Gamal Abdul Naseer bias menjadi sekutu strategismelawan Pan-
Arabisme-Sosialisme Naseer. Kedua,
para anggota Ikhwanul Muslimin yang
terpelajar bisa membantu Saudi
membangun dan memperkuat sistem
penyebaran Wahabi kenegara lain di timur Tengah dan akhirnya keseluruh
dunia.
Di Indonesia masuknya faham Wahabi
mulai terlihat ketika gerakan Paderi
dimulai, gerakan ini dimulai dari
perkenalan Haji Miskin, Haji Abdurahman, dan Haji Arif dengan
Wahabi di Makkah pada awal abad ke
19, ketika itu Makkah dan Madinah
sudah di kuasai oleh Wahabi.
Terpesona oleh gerakan Wahabi,
sekembalinya dari Nusantara (Indonesia) Haji Miskin berusaha
melakukan gerakan pemurnian
sebagaimana dilakukan oleh Wahabi,
yang juga didukung oleh dua haji
yang lain. (abdul A’la, 2008) mereka memvonis Tarekat Syathoriyah dan
praktek Tasawuf lainya yang telah
hadir di Minangkabau beberapa abad
sebelumnya sebagai kesesatan yang
tidak bisa di toleransi, didalamnya
banyak tahayul, Bid’ah dan Khurafat yang harus diluruskan, kalau perlu di
perangi (Oman Faturahman,2003)
Penyebaran ajaran Wahabi memasuki
era baru ketika tahun 1970an, saat itu
umat Islam indonesia sangat
mengalami kesulitan untuk bisa belajar di luar negeri, melalui DDII,
Wahabi memberikan bantuan
beasiswa untuk bisa belajar ke Timur
Tengah, terutama Arab Saudi.
Belakangan kebanyakan alumni
program ini kemudian menjadi agen penyebaran faham Transnasional dari
Timur Tengah ke Indonesia. Tidak
sampai disitu, dengan dukungan
Wahabi pula, DDII mendirikan LIPIA,
dan kemudian banyak alumninya
menjadi agen salafi (Wahabi) dan tarbiyah (Ikhwanul Muslimin). DDII
juga memainkan peran penting
dalampenerjemahan buku buku dan
penyebaran gagasan gagasan tokoh
gerakan Transnasional seperti Hasan
al-Bana, Sayid Qutb, Abul’A’la Al Maududi, Yusuf Qordawi dan lain lain,
penerbitan Sabili yang mencapai tiras
100.000 diduga tidak lepas dari
dukungan dana Wahabi. (hal 96)
Selain DDII, menjelang dan setelah
Orde Baru tumbang, Indonesia menyaksikan begitu banyak
kelompok kelompok garis Keras lokal,
beberapa diantara kelompok ini
adalah Fornt Pembela Islam (FPI)
Forum Umat Islam (FUI), laskar Jihad,
Jama’ah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Partai Keadilan Sejatra
(PKS) , Komite persiapan Syariah Islam
(KPPSI) di beberapa daerah dan lain
lain. Dalam moment inilah,Ikhawanul
Muslimin (PKS) dan Hizb Tahrir
Indonesia menampaan diri secara terbuka di Indonesia. Mereka
menyusup dari istana negara hingga
ke pegunungan. Hasil penelitian buku
ini menunjukan dengan jelas bahwa
gerakan mereka sangat sistematis,
terencana, dan dengan dukungan dana yang luar biasa.
Usaha usaha yang mereka guanakan
untuk penyebaran Ideologi mereka
mulai beragam, dari mulai
penyerobotan masjid hingga layanan
cleaning servis masjid secara gratis, gerakan Transnasional ini juga
mendirikan jaringan jaringan sekolah
sendiri, seperti sekolah “Islam terpadu”. Penyusupan dengan pola akademis pun mereka lakukan
dengan cara menguasasi senat atau
BEM Mahasiswa dengan gerakan
dakwah Kampus yang berpandangan
Wahabi-Ikhwanul Muslimin.
Merespon gerakan ini, PP Muhamadiyah menerbitkan SKKP
Nomor 149/kep/1.0/B/2006 untuk
menyelamatkan persyarikatan ini dari
infiltrasi partai politik seperti PKS.
Nahdhatul Ulama juga mengeluarkan
fatwa bahwa khilafah Islamiyah tidak mempunyai rujukan teologis baik
didalam Al Qur’an maupun Hadist. PBNU mengingatkan bahwa ideologi
transnasional berpotensi memecah
belah bangsa Indonesia dan merusak
amaliyah diniyah umat Islam.
Gerakan garis keras transnasional di
Indonesia terdiri dari kelompok kelompok didalam dan luar institusi
pemerintahan/parlemen yang saling
mendukung untuk mencapai agenda
bersama mereka. Bahaya paling jelas
adalah identifikasi Islam dengan
Ideologi Wahabi/ikhwanul muslimin yang sangat ampuh membodohi umat
Islam. Mereka menyusup kebidang
bidang kehidupan bangsa Indonesia
terutama ormas ormas Islam moderat,
institusi pendidikan dan pemerintahan
dan dengan dalih membela memperjuangkan Islam, melakukan
culture genocide untuk menguasai
Indonesia. Formalisasi agama (baca:
Islam) yang mereka lakukan hanya
dalih untuk merebut kekuasaan
politik.
No comments:
Post a Comment
kritik dan saran saya terima dengan baik di sini.